GRAAL -ARTHUR-EXCALIBUR - PAIX-LIBERTE-AMOUR DIVIN

ASOKA

z_981558157_n.jpg

 

Wajib Share, Toleransi Beragama] Dengan mencontoh pandangan Sang Buddha tentang toleransi beragama, Asoka membuat dekrit di batu cadas gunung ( hingga kini masih dapat di baca ) yang berbunyi : “… janganlah kita menghormat agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya agama orang lain hendaknya dihormat atas dasar tertentu. Dengan berbuat begini kita membantu agama kita sendiri u...ntuk berkembang disamping menguntungkan pula agama lain. Dengan berbuat sebaliknya kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri dengan mencela agama lain – semata – mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya dengan berpikir ‘ bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri ‘ maka dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu toleransi dan kerukunan beragamalah yang dianjurkan dengan pengertian, bahwa semua orang selain mendengarkan ajaran agamanya sendiri juga bersedia untuk mendengarkan ajaran agama yang dianut orang lain… “



A S O K A

Asoka adalah raja dari negara Magadha. Ayahnya bernama Bindusara yang mempunyai enam belas orang istri dan ibunya bernama Dhamma.

Ketika masih berusia muda Asoka sudah diangkat menjadi gubernur dari Avanti dengan ibukota bernama Ujjeni. Pada waktu ayahnya sedang menunggu ajalnya, Asoka datang menyerbu dan menduduki ibukota Pataliputta dan membunuh sebagian besar pangeran yang merupakan saudara – saudaranya sendiri, dan hanya beberapa saja yang dibiarkan hidup. Harap diketahui bahwa Asoka mempunyai seratus satu saudara laki – laki. Tahun itu adalah tahun ke 218 setelah Sang Buddha Parinibbana.

Pembantaian ini menimbulkan reaksi keras dikalangan istana, sehingga ia memerlukan waktu empat tahun untuk mengkonsolidasikan kedudukannya agar dapat dinobatkan menjadi raja dari Magadha. Adiknya bernama Tissa, diangkat menjadi raja muda, tetapi Tissa kemudian menjadi Bhikkhu dan mencapai tingkat Arahat. Adik Asoka yang bernama Vitasoka juga menjadi Bhikkhu dan mencapai tingkat Arahat.

Salah seorang istrinya bernama Devi, juga disebut sebagai Vedisa-Mahadevi, yang dikenalnya ketika ia dalam perjalanan ke Ujjeni singgah di rumah seorang saudagar kaya di Vedisagiri yang mempunyai seorang putri bernama Devi. Devi menjadi ibu dari Mahinda dan Sanghamitta. Putri Sanghamitta menikah dengan Aggibrahma dan mempunyai anak laki – laki bernama Sumana.

Ketika Asoka pulang ke Pataliputta, Devi tidak ikut, karena di tempat ini sudah menunggu istrinya yang bernama Asandhamitta. Asandhamitta mangkat setelah Asoka memerintah selama tiga puluh tahun. Empat tahun kemudian ia mengangkat Tissarakkha sebagai ratu.

Setelah dinobatkan sebagai raja, Asoka pada mulanya mengikuti jejak ayahnya ( Bindusara ) dan kakeknya ( Chandragupta ) dan ingin menyempurnakan penaklukan seluruh daratan India. Ia menyerbu dan menaklukkan negara Kalinga ( sekarang Orissa ) dan menggabungkan dengan negerinya. Ratusan ribu orang mati, luka, cacat dan ditawan. Tetapi pembantaian besar – besaran ini dan matinya beribu – ribu manusia membuat Asoka sangat menyesal dan menjadi titik balik dari penghidupan sebelumnya.

Untuk menyatakan rasa menyesal dan sedih hatinya kalau teringat pembantaian itu, Raja Asoka memerintahkan untuk membuat dekrit dengan cara memahatnya di batu cadas gunung yang terkenal sebagai ROCK EDICT XIII . “ Ia menerangkan kepada umum bahwa ia tidak akan menggunakan pedangnya lagi untuk menaklukkan negara lain dan ia berharap agar semua mahkluk hidup dapat melakukan “ non-violence “, hidup bersih dan ramah tamah “. Ini tentu saja dapat dianggap sebagai kemenangan yang terbesar dari “ Yang dikasihi Oleh Para Dewa “, yaitu penaklukan dengan cinta kasih. Bukan saja ia menolak peperangan untuk dirinya sendiri, namun juga menyatakan keinginannya : “ … agar juga anak – anaknya dan cucu – cucunya tidak lagi berpikir tentang penaklukan negara – negara lain sebagai sesuatu yang ada harganya untuk dilakukan. Mereka harus berpikir tentang penaklukan dengan cinta kasih yang berguna untuk dunia ini dan juga berguna untuk di alam baka kelak. “

Hal ini dilakukan Raja Asoka ketika ia berada di puncak kejayaannya. Dan sejarah telah membuktikan bahwa negara – negara tetangganya tidak mengambil manfaat dari cinta kasih Asoka dan menyerbu dengan kekuatan tentara mereka atau tergoda untuk melakukan pemberontakan atau kerusuhan dalam negeri semasa Asoka masih hidup. Sebaliknya negara yang besar berada dalam keadaan aman, damai dan sejahtera dan negara tetangganya ternyata menerima kepemimpinannya.

Pada suatu hari dari jendela istana Asoka melihat saudara sepupunya, Nigrodha sedang berjalan. Karena terdapat ikatan batin di antara mereka pada kelahiran yang lalu, Asoka lalu memanggil Nigrodha untuk mampir di istana. Asoka dan Nigrodha pada kelahiran yang lalu adalah saudara kandung dan berdagang madu. Pada suatu hari mereka memberi dana madu kepada seorang Pacceka Buddha. Seorang gadis bernama Asandhamitta yang menunjukkan kepada Pacceka Buddha tersebut kedai madu yang dikelola oleh Asoka dan Nigrodha.

Di istana Nigrodha memberikan uraian tentang Appamadavagga yang membuat Asoka sangat tertarik, sehingga mulai hari itu Asoka menjadi penyokong dan pelindung dari Nigrodha dan anggota Sangha lainnya.

Menurut Samantapasadika, penghasilan Asoka yang berjumlah 500.000 mata uang zaman itu dibagi sebagai berikut :

100.000 mata uang diberikan kepada Nigrodha yang dapat dipakai untuk apa saja.

100.000 mata uang untuk membeli barang – barang persembahan di Vihara Agama Buddha

Seperti dupa, bunga dan lain – lain.

100.000 mata uang untuk membeli makanan, minuman dan keperluan Sangha lainnya.

100.000 mata uang untuk pengembangan agama Buddha, dan

100.000 mata uang untuk membeli obat – obatan bagi yang sakit.

Setelah mendengar dari Moggaliputta Tissa Mahathera bahwa Ajaran sang Buddha terdiri dari 84.000 Dhamma, Asoka mendirikan vihara di berbagai desa dan kota di mana terdapat 84.000 buah cetiya. Dan di Pataliputta Asoka membangun sebuah vihara besar dan megah. Konon diceritakan bahwa dengan bantuan Raja Naga Mahakala ia membuat patung Sang Buddha dalam ukuran sebenarnya, dimana Asoka sering memberi persembahan – persembahan yang mewah.

Kedua anaknya, yaitu putranya Mahinda dan putrinya Sanghamitta, pada usia muda ditahbiskan menjadi bhikkhu dan bhikkhuni dalam upacara yang dipimpin oleh Moggaliputta Tissa dan Dhammapala di tahun ke enam pemerintahannya. Dengan peristiwa ini Asoka meningkat dari seorang Paccadayaka menjadi Sasanadayadin.

Asoka juga membuat dekrit di atas batu cadas gunung yang dikenal sebagai “ Bhabra Edict “ yang terdiri dari tujuh baris dan sebagian besar diambil dari ayat – ayat suci bahasa Pali. Dekrit ini berbunyi : “ … Asoka menginginkan agar semua orang, bhikkhu maupun orang awam, membaca dan mempraktikkannya dalam penghidupan sehari – hari. Sebab dengan berbuat demikian mereka, pria maupun wanita, akan menjadi orang yang lebih baik. Asoka memberi penghormatan yang tinggi kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. “

Selanjutnya Asoka banyak melakukan perjalanan ziarah ke tempat – tempat agama Buddha. Di tahun pemerintahannya yang kedua puluh ia mengunjungi Taman Lumbini di mana Sang Buddha dilahirkan. Di tempat ini ia mendirikan “ Pilar Asoka “ di mana terdapat tulisan sebagai berikut : “…bahwa ia mengunjungi tempat itu untuk memberi penghormatan kepada tempat di mana Sang Buddha dilahirkan “. Dan untuk memperingati kunjungannya ke Taman Lumbini ia membebaskan rakyat setempat dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah.

Hal yang sama dilakukan Asoka ketika mengunjungi Buddha Gaya dan Sarnath, di mana Sang Buddha memperoleh Penerangan Agung dan di mana Sang Buddha memberikan khotbahNya yang pertama. Di Sarnath dulu terdapat sebuah tugu ( pilar ) yang sekarang sudah rusak, di mana terdapat pemberitahuan tentang pemecatan para bhikkhu dari Sangha karena menimbulkan perpecahan dalam Sangha.

Bagaimanakah pandangan Asoka mengenai Ajaran Sang Buddha dan dengan cara apakah Asoka mempraktikkan Ajaran itu dalam kehidupannya sehari – hari ? Ia mengakui bahwa kehidupan bagi semua mahkluk adalah suci, oleh karena itu ia tidak membenarkan binatang – binatang untuk dijadikan sesajen atau disembelih untuk keperluan lain. Pada suatu hari ia mengetahui bahwa binatang dalam jumlah besar disembelih di dapur istana untuk disantap oleh penghuni istana. Tetapi kemudian ia memerintahkan untuk hanya menyembelih dua ekor ayam kalkun dan seekor rusa. Selanjutnya ia menetapkan bahwa ini pun di kemudian hari harus dihilangkan sama sekali. Ia menginginkan agar rakyat mengembangkan kebajikkan moral, seperti taat kepada Ajaran Sang Buddha, melaksanakan sila dalam penghidupan sehari – hari, mengembangkan rasa kasih sayang kepada semua mahkluk hidup, suka menolong orang lain dan tidak kikir, menjaga kesucian hati, kelemah lembutan, serta menghormat dan patuh kepada orang tua dan guru, bermurah hati dan ramah tamah kepada sahabat, kenalan dan bahkan pelayan dan budak pun harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi.

Dengan mencontoh pandangan Sang Buddha tentang toleransi beragama, Asoka membuat dekrit di batu cadas gunung ( hingga kini masih dapat di baca ) yang berbunyi : “… janganlah kita menghormat agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya agama orang lain hendaknya dihormat atas dasar tertentu. Dengan berbuat begini kita membantu agama kita sendiri untuk berkembang disamping menguntungkan pula agama lain. Dengan berbuat sebaliknya kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri dengan mencela agama lain – semata – mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya dengan berpikir ‘ bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri ‘ maka dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu toleransi dan kerukunan beragamalah yang dianjurkan dengan pengertian, bahwa semua orang selain mendengarkan ajaran agamanya sendiri juga bersedia untuk mendengarkan ajaran agama yang dianut orang lain… “

Asoka juga membuat daftar dari hewan yang harus dibebaskan dari penyembelihan. Binatang babi yang sedang mengandung atau yang sedang menyusui anaknya termasuk dalam kategori ini. Selanjutnya ia juga melarang pengebirian dan pemberian cap ( dengan besi panas ) di badan binatang pada hari uposatha. Ia juga pada waktu – waktu tertentu memberi pengampunan kepada narapidana. Ia menginginkan agar semua orang lebih mendekati diri mereka dengan para dewa, sehingga dengan demikian jarak perbedaan antara dewa dan manusia diperkecil.

Asoka juga mengangkat pejabat – pejabat keagamaan dari berbagai tingkatan dan ditempatkan di berbagai daerah untuk membantu khalayak ramai menjalankan kehidupan beragama yang benar dan saleh.

Dekrit – dekrit Asoka biasanya dipahat di batu cadas gunung atau di pilar – pilar batu. Batu cadas biasanya ditempatkan di perbatasan negaranya yang besar dan pilar batu ditempatkan di sepanjang jalan raya atau di tempat ziarah di mana biasanya banyak orang berkumpul. Ia menginginkan agar rakyatnya melaksanakan kehidupan yang beriman dan saleh, sebagaimana ia sendiri dan keluarganya juga mempraktikkannya. Daripada pergi berburu Asoka lebih senang melakukan perjalanan ziarah ke tempat – tempat yang mengandung arti keagamaan. Dengan demikian ia dapat bertemu dengan para bhikkhu, petapa dan brahmana yang terpelajar. Setelah melakukan diskusi dengan para rohaniawan tersebut Asoka lalu memberikan dana yang besar. Selain itu ia sering melakukan perbuatan yang mulia dengan menanam pohon, menggali sumur untuk keperluan rakyat, membuka rumah – rumah sakit untuk memberi pengobatan kepada manusia dan juga kepada binatang. Hal di atas bukan saja dilakukan di negaranya sendiri, tetapi juga di negara tetangga, seperti di Colas, Pandyas, Kerala dan negara – negara lain, sampai di Srilangka.

Sebagai penganut agama Buddha yang baik dan fanatik, Asoka memberikan sumbangan besar kepada vihara – vihara. Hal ini menarik perhatian para petapa dan yogi yang sekarang banyak kehilangan pengikut. Mereka lalu berbondong – bondong memasuki Sangha di mana mereka mendambakan kehidupan yang lebih enak dan senang. Banyak dari mereka mengabaikan vinaya kebhikkhuan sebab pada hakekatnya mereka masih berpedoman kepada ajaran dan kepercayaan mereka yang lama dan mengajarkan ajaran mereka yang sekarang diberi “ cap “ sebagai ajaran Sang Buddha. Jumlah para bhikkhu dan petapa yang munafik bahkan menjadi lebih besar dari para bhikkhu yang taat kepada Dhamma dan Vinaya yang benar. Salah satu akibatnya ialah bahwa selama tujuh tahun tidak lagi diadakan pertemuan Uposatha dan Pavarana di vihara – vihara. Para bhikkhu yang taat kepada Dhamma dan Vinaya yang benar menolak untuk menghadiri pertemuan tersebut bersama – sama dengan para petapa.

Mendengar bahwa Sangha telah gagal untuk menyelenggarakan pertemuan keagamaan membuat raja Asoka sangat sedih. Oleh karena itu ia mengeluarkan perintah resmi agar pertemuan Uposatha harus kembali diadakan di vihara – vihara. Satu kesalahan besar telah diperbuat oleh menteri yang ditugaskan mengawasi pelaksanaan perintah tersebut.

Ia salah menafsirkan perintah Raja Asoka sehingga para bhikkhu yang tidak mau melaksanakan perintah raja Asoka dipenggal kepalanya. Ketika berita yang menyedihkan ini didengar oleh raja Asoka, beliau merasa sangat terpukul dan sedih sehingga ia mohon maaf atas kesalahannya itu.

Ia bertanya kepada Sangha apakah Sangha menganggap ia bertanggung jawab mengenai hal ini. Ada anggota Sangha yang mengatakan bahwa ia tidak bertanggung jawab tetapi ada juga anggota Sangha yang mengatakan bahwa ia bertanggung jawab. Asoka menjadi bingung dan bertanya apakah ada seorang bhikkhu yang dapat memberi ia kepastian mengenai hal ini. Mereka lalu menjawab, bahwa hanya Moggalliputta Tissa Mahathera sajalah yang dapat memberi jawaban yang tepat. Oleh karena itu ia lalu mengirim utusan untuk mengundang Moggalliputta Tissa datang ke Pataliputta.

Setelah beberapa kali gagal, akhirnya Moggalliputta Tissa bersedia juga datang ke Pataliputta dengan menggunakan perahu. Ketika tiba di Pataliputta bhikkhu agung tersebut langsung dijemput oleh Raja Asoka yang turun ke sungai sampai sebatas lutut dan mengulurkan tangan kanannya. Dengan penuh hormat Raja Asoka menyambut Moggalliputta Tissa Mahathera turun dari perahu.

Moggalliputta Tissa Mahathera diberi tempat menginap di taman utama istana dan mendapat penghormatan yang sangat besar. Beliau kemudian dimohon untuk mempertontonkan satu keajaiban dan seketika itu juga sang Mahathera memperlihatkan kemampuannya untuk membuat keajaiban dengan membuat bumi bergetar. Sesudah raja tidak lagi ragu – ragu atas kepandaian dan kemampuan Mahathera, Raja lalu bertanya apakah ia bersalah dan bertanggung jawab atas terbunuhnya para bhikkhu oleh menterinya.

Jawaban Mahathera adalah : “ Tidak ada kesalahan apabila tidak ada cetana ( kehendak ) yang tidak baik. “ Jawaban ini ternyata memuaskan hati raja yang sangat cermat itu. Mahathera kemudian memberikan uraian Dhamma kepada raja selama satu minggu.

Raja Asoka kemudian mengirim undangan kepada semua bhikkhu untuk menghadiri satu Persidangan Agung dari Sangha yang akan dipimpin oleh Moggalliputta Tissa. Sangha Samaya Ketiga berlangsung selama sembilan bulan. Sidang ini berhasil menertibkan beberapa perbedaan pendapat ( antara lain tentang adanya Atma yang kekal abadi ) yang menyebabkan perpecahan dalam Sangha. Di samping itu sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan kanon ( Kitab Suci ) Pali. Di Sidang Agung Ketiga ini ajaran Abhidhamma ( Kathavatthu Pakarana ) diulang secara tersendiri, sehingga dengan demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang terdiri dari Tiga Kelompok Besar ( Vinaya, Sutta dan Abhidhamma ), meskipun masih belum ditulis dalam kitab dan masih dihafal di luar kepala oleh hadirin yang terdiri dari seribu orang bhikkhu yang taat kepada Dhamma dan Vinaya yang benar. Sedangkan para bhikkhu yang terkena penertiban ( enam puluh ribu orang ) meninggalkan golongan Sthaviravada ( pendahulu dari golongan yang sekarang dikenal sebagai Theravada ) dan mengungsi ke Utara. Hasil lain yang penting dari sidang ini adalah pengiriman dhammaduta ke segenap penjuru dunia. Majjhantika dikirim ke Kasmir ; Gandhara dan Mahadeva ke Mahisamandala ; Rakkhita ke Vanavasa ; Yona Dharmmarakkhita ke Aparantaka ( India Barat ) ; Maharakhita ke Yona ; Majjhima ke wilayah Himalaya ; Sona dan Uttara ke Suvannabhumi ( Malaya dan Sumatera ) ; Mahinda dengan Itthiya, Uttiya, Sambala dan Bhaddasala ke Srilanka.

Menurut pahatan yang terdapat di ROCK EDICT XIII Asoka menerangkan bahwa ia mengirim dhammaduta ke kerajaan yang jauh dari kerajaannya sendiri, yaitu ke Antiochus ( Antiyoko ), raja dari Syria ; ke empat kerajaan yang lebih jauh lagi, yaitu Ptolemy ( Turameya ) dari Mesir ; Antigonos ( Antakini ) dari Macedonia ; Alexander ( Alikasundara ) dari Epirus ( satu wilayah kuno di Yunani Utara ) ; Magas dari Cyrenia di Afrika Utara. Ia juga menyebut nama – nama seperti Yavanas, Kemboja, Pandyas, Colas, Andhras, Pulindas, Srilanka dan lain – lain.

Di tahun ke delapan belas pemerintahannya, atas permohonan Devanampiyatissa ia mengirim putrinya, Sanghamitta, ke Srilangka dengan membawa cangkokan dari pohon bodhi yang tumbuh di Buddha Gaya. Sanghamitta kemudian membentuk dan memimpin Sangha Bhikkhu yang pertama di Srilanka.

Sebelum itu Asoka mengirim cucunya, Sumana, ke Srilanka dengan dibekali beberapa relik dan mangkuk untuk mengumpulkan makanan dari Sang Buddha untuk ditempatkan di stupa – stupa. Asoka memerintah selama 37 tahun dan kemudian terkenal dengan nama Dhammasoka karena jasanya besar dalam membantu pengembangan agama Buddha.

Sumber :
PAHLAWAN DHAMMADUTA
Disusun oleh Maha Pandita Sasanacariya Sumedha Widyadharma
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Sangha Dhammacakka, Jakarta
Cetakan Pertama, 1993

======
Sumber: http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/asoka/?pfstyle=wp&mobile=1
======
Foto: Pilar Asoka di Vashiali

#toleransi
#agama
#asoka
#Buddha
#toleransiberagama

Articles de bouddhiste



[Action obligatoire, tolérance religieuse] Pour suivre l'exemple des vues du Bouddha sur la tolérance religieuse, les édits de roche d'Ashoka faire montagnes (jusqu'à présent peuvent encore être lues) qui se lit: «... laissez-nous ne grattez pas notre propre religion en dénonçant la religion d'autrui. Autrement la religion d'autrui devrait être sur la base de certains précieux;. Ce faisant, nous aidons nos propres religions de s'épanouir tout en bénéficiant des autres religions. En faisant autrement nous porterait atteinte à notre propre religion en plus de nuire aux religion d'autres personnes. Par conséquent, quiconque gratter leur religion eux-mêmes avec dénonçant les autres religions – simplement – parce qu'un acte d'encouragement à sa religion en pensant « Comment peux je glorifie ma religion » et, ce faisant, il est très préjudiciable à la religion elle-même. Par conséquent, la tolérance et l'harmonie beragamalah est recommandé étant entendu que tout le monde sauf à écouter les enseignements de la religion elle-même est également disposé à écouter les enseignements de la religion embrassé tout le monde...




UN S O K A

 

Il était le roi de Magadha. Son père est nommé Bindusâra qui avait seize femmes et mères appelées le Dhamma.

 

Quand il est encore jeune il est déjà nommé gouverneur d'Avanti nommé Ujjeni avec la capitale. À l'époque, son père était en attente de sa mort, Ashoka s'est prise d'assaut et occupe la capitale Pataliputta et tuer la plupart du Prince qui était le frère de la sienne – et rares sont laissés en vie. Veuillez noter qu'il a un cent et un frère – hommes. Cette année était l'année à 218 après le Bouddha était.

 

Le massacre a provoqué des réactions sévères chez les châteaux, alors qu'il faut quatre ans pour consolider sa position afin d'être couronné roi de Magadha. Sa sœur appelé Tissa, a été nommée vice-roi, mais plus tard est devenu un Bhikkhu Tissa et atteint arahanthood. Aussi, frère cadet d'Ashoka, nommé Vitasoka est devenu un moine et atteint arahanthood.

 

Un de sa femme nommée Devi, également connu sous le nom de Vedisa-Mahadevi, savait alors qu'il était sur son chemin jusqu'à l'arrêt Ujjeni à la maison d'un riche marchand de Vedisagiri qui eut une fille nommée Devi. Devi est devenue la mère de Mahindra et Sanghamitra. Princesse Sanghamitra épousa Aggibrahma et eut un fils, nommé Sumana.

 

Quand il revint à Pataliputta, Devi n'a pas participé, parce que dans ce lieu, attendait déjà pour sa femme qui s'appelait Asandhamitta. Asandhamitta est mort après que qu'il a régné pendant trente ans. Quatre ans plus tard, il fut nommé Tissarakkha comme la Reine.

 

Après avoir été couronné comme le roi, l'empereur Ashoka a été initialement suivi les traces de son père (Bindusâra) et son grand-père (Chandragupta) et souhaitez rectifier la conquête de l'ensemble du continent de l'Inde. Il envahit et conquit l'état de Kalinga (Orissa moderne) et combine avec son pays. Centaines de milliers de morts, blessés, handicapés et faits prisonniers. Mais le massacre de cette ampleur – et la disparition de milliers d'êtres humains à faire des milliers – il est vraiment désolé et être un tournant d'une vie antérieure.

 

Pour exprimer un sentiment de regret et de tristesse de son cœur quand a rappelé du massacre, roi Ashoka a ordonné de faire un décret par le biais de sculpté les montagnes Rocheuses qui est connu comme un ROCK édit XIII. « Il a expliqué au public qu'il utiliserait pas son épée plus conquis d'autres pays et espère que tous les êtres vivants peuvent effectuer « non-violence », propre vivant et bénignes ». Ceci bien sûr peut être considérée comme la plus grande victoire de son « bien-aimé des dieux », c'est-à-dire la conquête de l'amour. Non seulement elle n'a refusé la guerre pour lui-même, mais a également déclaré son désir: «... afin qu'également le petit-fils fils – son fils et petits-enfants – n'est donc plus penser à la conquête du pays – autres pays comme quelque chose qu'il ya beaucoup à faire. Ils devraient réfléchir à la conquête de l'amour pour ce monde et aussi utile pour dans l'au-delà.

 

Cela se fait au roi Asoka, alors qu'il était à son apogée. Et l'histoire a prouvé que le pays – ses voisins ne bénéficient pas de l'Ashoka d'amour et leurs forces avec la force d'assaut ou être tentés de commettre de rébellion ou émeutes dans le pays au cours de la période, il était encore vivant. Sinon, un grand pays est dans un pays voisin sûr, Pacifique et prospère et apparemment accepté son leadership.
Un jour dans la fenêtre du palais, il a vu son cousin, Nigrodha est en cours d'exécution. Parce qu'il est interne de liaison entre eux sur la naissance d'il y a, Ashoka et Nigrodha appelé à arrêter le palais. Ashoka et la naissance de Nigrodha il y a frère et miel cotées en bourse. Un jour ils donnent le miel pour financer un Pacceka Buddha. Une jeune fille nommée Asandhamitta qui affiche le miel de Bouddha Pacceka taverne géré par Ashoka et Nigrodha.

Au Palais de la Nigrodha aboutit une description de l'Appamadavagga qui font Ashoka était très intéressé et ainsi a commencé la journée, il est devenu un partisan et un patron de Nigrodha et les autres membres de la Sangha.

Selon Ashoka, gagner de le Samantapasadika s'élève à 500 000 pièces de monnaie de l'époque est divisé comme suit :

100 000 monnaie donnée à Nigrodha qui peut être utilisé pour n'importe quoi.

100 000 monnaie pour acheter des biens – offres de marchandises au bouddhiste Vihara

Comme l'encens, de fleurs et d'autres-autres.

100 000 monnaie pour acheter des aliments, des boissons et autres nécessités de la Sangha.

monnaie 100 000 pour le développement du bouddhisme et le

100 000 monnaie pour acheter des médicaments-médicaments pour la douleur.

Après avoir entendu Moggaliputtatissa Tissa Mahathera qui consiste en l'enseignement du Bouddha Dhamma, Ashoka 84 000 fondé des monastères à divers villages et villes où il y a 84 000 morceaux cetiya. Et en Pataliputta Ashoka construisit un grand monastère et magnifique. On raconte qu'il fait avec l'aide de la statue du roi Dragon de Mahakala le Bouddha en taille réelle, où il a souvent sacrifié – offres de luxe.

Ses deux fils, que son fils et sa fille Caroline Mahindra, à un jeune âge fut ordonné moines et moniales lors d'une cérémonie dirigée par Moggaliputtatissa Tissa et Dharmapâla en sixième année de son règne. Avec cet événement, Ashoka est passée d'un Paccadayaka dans un Sasanadayadin.

Il a également apporté un décret sur les montagnes Rocheuses, appelées « Édit de Bhabra » qui se compose de sept lignes et surtout pris des versets – versets sacré Pali. Ce décret se lit: «... » Ashoka voulait tous, moines et laïcs, lecture et mempraktikkannya dans les moyens de subsistance par jour-jour. Parce qu'en ce faisant, elles, les hommes et les femmes, sera une meilleure personne. Il a rendu hommage pour le Bouddha, le Dhamma et la Sangha.

Plus tard, il s'est rendu dans les lieux de pèlerinage – lieu du bouddhisme. Dans sa vingtième année, il a visité Lumbini où le Bouddha est né. Dans cet endroit, il a érigé « Piliers d'Ashoka » sur lequel se trouve l'inscription suivante: "... qu'il a visité l'endroit pour rendre hommage à l'endroit où le Bouddha est né". Et pour commémorer sa visite à Lumbini dans la population locale, il a prononcé à l'obligation de payer des impôts au gouvernement.

La même chose a été faite lors de sa visite des styles bouddhistes et Sarnath, où le Bouddha reçut l'illumination suprême et où le Bouddha a donné son premier sermon. Dans le passé, il a été un pilier à Sarnath (piliers) qui est maintenant brisée, où il y a avis de licenciement à la Sangha des moines car ils provoquent une scission dans la Sangha.

Comment fait vue d'Ashoka des enseignements du Bouddha et d'ailleurs le fait qu'il pratiquent les enseignements de sa vie un jour – journée ? Il admet que la vie de tous les êtres est sacrée, donc il ne permet pas d'animaux-animaux pour les offres de l'abattage ou à d'autres fins. Un jour, il a appris qu'un grand nombre d'animaux tués dans la cuisine du palais pour être consommés par les habitants du château. Mais ensuite, il ordonna de tuer l'orignal et les poulets que deux dindes. Par la suite, il a établi que cette question à une date ultérieure doit être éliminée complètement. Il voulait que les gens à développer la morale kebajikkan, tels que l'obéissance aux enseignements du Bouddha, de mener sa vie dans la sila – aujourd'hui, développer un sentiment de compassion pour tous les êtres vivants, comme d'aider les autres et pas avare, conserver le caractère sacré de la foie, lembutan kelemah, ainsi que de gratter et obéissant aux parents et aux enseignants, être généreux et bénignes : amis, connaissances et même les serviteurs et les esclaves doivent être traités avec humanité et bien.


Pour suivre l'exemple des vues du Bouddha sur la tolérance religieuse, les édits de roche d'Ashoka faire montagnes (jusqu'à présent peuvent encore être lues) qui se lit: «... laissez-nous ne grattez pas notre propre religion en dénonçant la religion d'autrui. Autrement la religion d'autrui devrait être sur la base de certains précieux;. Ce faisant, nous aidons nos propres religions de s'épanouir tout en bénéficiant des autres religions. En faisant autrement nous porterait atteinte à notre propre religion en plus de nuire aux religion d'autres personnes. Par conséquent, quiconque gratter leur religion eux-mêmes avec dénonçant les autres religions – simplement – parce qu'un acte d'encouragement à sa religion en pensant « Comment peux je glorifie ma religion » et, ce faisant, il est très préjudiciable à la religion elle-même. Par conséquent, la tolérance et l'harmonie beragamalah est recommandé étant entendu que tout le monde sauf à écouter les enseignements de la religion elle-même est également disposé à écouter les enseignements de la religion embrassé tout le monde...

Il fait également une liste des animaux qui doivent être libérés de l'abattage. Animal cochon étant enceinte ou si vous allaitez, son fils entrent dans cette catégorie. Il interdit également la castration et l'octroi de PAC (avec un fer chaud) dans le corps de l'animal sur l'uposatha. Il a également été à l'époque – temps de gracier les condamnés. Il voulait faire tout le monde est plus proche d'eux-mêmes avec les dieux, et donc la différence de distance entre les dieux et les hommes revus à la baisse.

Il a également soulevé les responsables religieux officiels de nombreux – niveaux et placés dans divers domaines pour aider les auditoires à exécuter un religieux droit et vertueux.

Décret-Décret d'Ashoka est généralement sculptée dans les montagnes Rocheuses ou à colonnades – piliers en pierre. Pierre roches sont généralement placés dans un grand pays et les pierres de la borne frontière placés le long de la route ou au lieu de pèlerinage où habituellement beaucoup de gens se rassemblent. Il voulait que les gens à mener la vie des fidèles et des pieux, que lui et sa famille possèdent également des mempraktikkannya. Que d'aller à la chasse, il préfère faire un pèlerinage aux lieux-endroits contenant des sens religieux. Ainsi, il a pu rencontrer des moines, les ascètes et les brahmanes qui savent lire et écrire. Après une discussion avec l'aumônier de l'Ashoka et donner ensuite une grosse caisse. De plus il effectue souvent des actes nobles en plantant des arbres, creuser des puits pour les personnes, journée portes ouvertes – hôpital de donner un traitement médical aux hommes et aux animaux. Ce qui précède n'effectue pas dans son propre pays, mais aussi dans les pays voisins, tels que Colas, Pandyas, Kerala et pays – un autre pays, jusqu'à ce qu'au Sri Lanka.

Bons bouddhistes et Bigot, il contribué au monastère, le monastère. Cela a attiré l'attention des ascètes et Yogis sont maintenant beaucoup de perdre des adeptes. Ils sont entrés ensuite dans la Sangha bondong berbondong – où ils ont soif d'une meilleure vie est délicieux et heureux. Bon nombre d'entre eux ignorent le vinaya kebhikkhuan parce qu'en fait qu'ils détiennent encore pour les enseignements et les croyances de leur longue et autodidacte, leurs enseignements sont donnés maintenant un « tampon » comme les enseignements du Bouddha. Le nombre de moines et ascètes hypocrites même être plus grand que les moines qui respectent le Dhamma et le Vinaya. Une des conséquences est que, au cours des dernières sept années est n'est plus tenu une réunion au monastère et monastère Uposatha Pavarana-bouddhiste. Les moines qui respectent le Dhamma et Vinaya qui réellement a refusé de participer à la réunion ainsi que de l'autre – non plus.

Entendre que Sangha avait omis de tenir des réunions religieuses font roi Asoka était très triste. Par conséquent, il émit un fonctionnaire ordre aux réunions tenues dans l'Uposatha doit retourner le monastère – le monastère. Une grosse erreur a été faite par le ministre qui a été chargé de superviser l'application de la présente ordonnance.

Il a eu tort d'interpréter l'ordre du roi Ashoka, afin que les moines qui ne voulaient pas d'exécuter l'ordre du roi Asoka décapité. Quand la triste nouvelle a été entendue par le roi Asoka, il se sentait très triste et affligés qu'il présente des excuses pour son erreur.

Il a demandé si la Sangha Sangha estime qu'il est responsable à ce sujet. Il y a des membres de la Sangha, qui a dit qu'il n'était pas responsable, mais il y a aussi des membres de la Sangha qui dit qu'il est responsable. Il devient confuse et a demandé s'il y avait un moine qui il peut donner la certitude à ce sujet. Puis, ils m'ont répondu que seulement le Moggalliputta Tissa Mahathera seul peut donner la bonne réponse. C'est pourquoi il envoya un messager à inviter Moggalliputta Tissa vient à Pataliputta.


Après plusieurs tentatives, enfin Moggalliputta Tissa prêts à venir aussi sur le bateau à l'aide de Pataliputta. En arrivant à la suprême moine Pataliputta directement capté par roi Asoka qui descendent jusqu'à la rivière jusqu'à la mesure des genoux et tendit la main droite. Dans le plein respect pour accueillir le roi Asoka Moggalliputta Tissa Mahathera est descendu du bateau.

Tissa Moggalliputta Mahathera reçut un endroit pour rester dans la maison principale et le parc a obtenu un très grand honneur. Il a ensuite demandé à afficher a miracle et immédiatement l'a montré sa capacité à faire des merveilles Mahathera en faisant le tremblement de terre. Après que le roi n'était plus en doute – hésite sur l'habileté et la capacité Mahathera, roi puis a demandé s'il est coupable et responsable de la mort des moines par les ministres.

Mahathera réponse a été: « aucune erreur si aucun cetana (testaments) n'est pas bonne ». La réponse s'est révélée être divertissant le roi un très méticuleux. Mahathera puis donne l'explication du Dhamma au roi pendant une semaine.

Roi Ashoka a été d'envoyer des invitations à tous les moines d'assister à un des essais de la Sangha à être dirigé par Moggalliputta Tissa. Sangha Samaya a duré neuf mois troisième. Cet essai réglementer avec succès quelques divergences de vues (entre autres sur l'existence de l'Atman est immortel) provoquant le schisme dans la Sangha. En outre, le Conseil réexamine et améliorer kanon (écriture) de Pali. Dans cette troisième session de la Cour suprême enseignements de Abhidhamma (Pakarana Kathavatthu) répètent individuellement, afin que si le Canon Pali, déjà lengkaplah, qui se compose de trois grands groupes (Vinaya, Sutta et l'Abhidhamma), bien que toujours ne pas écrit dans l'écriture et la tradition sont toujours à l'extérieur de la tête par le public qui se composait d'un millier d'hommes, le moine qui est obéissant au Dhamma et Vinaya. Alors que les moines sont exposés à freiner (soixante mille personnes) quittent le Sthaviravada (prédécesseur de la désormais connu comme Theravada) et ont fui vers le Nord. Un autre résultat important de ce Conseil est en vente à partout dans le monde dhammaduta. Majjhantika a été envoyée au Cachemire ; Gandhara et Mahadeva à Mahisamandala ; À malika Rakkhita ; Yona Dharmmarakkhita à Aparantaka (ouest de l'Inde) ; Maharakhita à la Yona ; Majjhima à l'Himalaya ; Sona et Uttara à Suvannabhumi (Malaisie et Sumatra) ; Mahindra avec Itthiya, Uttiya, Sambala et Bhaddasala au Sri Lanka.

Selon gravures dans ROCK édit XIII Ashoka explique qu'il a envoyé au Royaume des dhammaduta loin d'être le sien, à savoir à Antiochus (Antiyoko), roi de Syrie ; aux quatre royaumes encore plus loin, c'est-à-dire de Ptolémée (Turameya) de l'Égypte ; Antigone (Antakini) de la République de Macédoine ; Alexander d'Épire (Alikasundara) (une des zones du Nord de la Grèce antiques) ; Magas de Cyrenia en Afrique du Nord. Il mentionne également le nom – un nom tel que Yavanas, frangipaniers, Pandyas, Andhras, Pulindas, Colas, Sri Lanka et d'autres – autre.

Dix-huit ans de son règne, sur la pétition de Devanampiyatissa, il envoya sa fille, Caroline, à Sri Lanka transportant la pousse de l'arbre de bodhi qui pousse dans le style bouddhiste. Daphnée a ensuite créé et dirigé le premier Bhikkhu Sangha au Sri Lanka.

Avant qu'il envoyait à son petit-fils, Sumana, à Sri Lanka avec fourni quelques reliques et bols pour collecter les aliments de Bouddha devant figurer dans les stupas – stupa. Ashoka a régné pendant 37 ans et était plus tard connu sous le nom de grand mérite comme Dhammasoka dans le développement du bouddhisme.

Source :
DHAMMADUTA HERO
Composée par Maha Pandita Sasanacariya Sumedha Widyadharma
Publié par le Collège de Sangha Dhammacakka, Jakarta
1993 Impression, première

======
Source : http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/asoka/?pfstyle=wp&mobile=1
======
Photo : pilier d'Ashoka à Vashiali

#toleransi
#agama
#asoka
#Buddha
#toleransiberagama

 



09/09/2013
0 Poster un commentaire

A découvrir aussi


Ces blogs de Religion & Croyances pourraient vous intéresser